Kecerdasan Spiritual (SQ)

Diposting oleh Unknown on Rabu, 10 November 2010

Sdi Nida El-adabi
SD Islam Nida El-adabi Parungpanjang - Bogor
Alamat: Jalan raya kabasiran Km. 0.5 Parungpanjang Bogor, kode pos: 16360
Latar Belakang
Pada suatu hari seorang guru fisika disebuah sekolah menengah menerangkan kepada para siswanya bahwa hidup manusia tidak lain adalah proses pembakaran. Mendengar keterangan sang guru itu, seorang siswa secara spontan melontarkan suatu pertanyaan tajam yang bernada menggugat,”kalau begitu, lalu apa artinya hidup manusia didunia ini?” (Frankl, dalam Koeswara, 1992).
Pembicaraan mengenai SQ atau kecerdasan spiritual tidak lepas dari konsep filosofis yang menjadi latar belakangnya. Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama diperbincangkan, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Dalam ilmu psikologi dikenal tiga aliran besar yang menjadi inspirasi bagi banyak aliran yang berkembang pada saat kemudian. Aliran tersebut adalah behaviorisme, psikoanalisis dan humanistis.
Kecerdasan spiritual banyak mengembangkan konsep-konsepnya dari aliran humanistis. Aliran humanistis ini kemudian mengembangkan sayapnya secara spesifik membentuk psikologi transpersonal, dengan landasan “pengalaman keagamaan” sebagai peak experience, plateau dan fartherst of human nature. Menurut Maslow (Rakhmat dalam Zohar dan Marshall, 2000) psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Penelusuran pemahaman kecerdasan spiritual (SQ) saat sekarang nampaknya cukup relevan, mengingat banyaknya persoalan-persoalan sosial yang semakin membebani hidup seseorang.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Frankl (Koeswara, 1992) bahwa sebagian besar masyarakat sekarang mengidap neurosis kolektif. Ciri dari gejala tersebut adalah:
1. Sikap masa bodoh terhadap hidup, yaitu suatu sikap yang menunjukkan pesimisme dalam menghadapi masa depan hidupnya.
2. Sikap fatalistik terhadap hidup, menganggap bahwa masa depan sebagai sesuatu yang mustahil dan membuat rencana bagi masa depan adalah kesia-siaan.
3. Pemikiran konformis dan kolektivis. Yaitu cenderung melebur dalam masa dan melakukan aktivitas atas nama kelompok.
4. Fanatisme, yaitu mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh kelompok atau orang lain.
Dengan ciri-ciri tersebut manusia berjalan menuju penyalahartian dan penyalahtafsiran tentang dirinya sendiri sebagai sesuatu yang “tidak lain” (nothing but) dari refleks-refleks atau kumpulan dorongan (biologisme), dari mekanisme-mekanisme psikis (psikologisme) dan produk lingkungan ekonomis (sosiologisme). Dengan ketiga konteks tersebut maka manusia “tidak lain” dalah mesin. Kondisi tersebut merupakan penderitaan spiritual bagi manusia. Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
SQ adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Utamanya persoalan yang menyangkut masalah eksistensial, yaitu saat seseorang secara pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. Dengan dimilikinya SQ seseorang mampu mengatasi masalah hidupnya dan berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi sesuatu rasa yang “dalam” pada diri seseorang menyangkut perjuangan hidup. Perbedaan Otak IQ, EQ dan SQ Penelusuran kecerdasan spiritual tampaknya merupakan jawaban akan keterbatasan kemampuan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) dalam menyelesaikan kasus-kasus yang didasarkan atas krisis makna hidup. Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear, logis dan tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah akurat, tepat dan dapat dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam batas-batas yang ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga. Otak EQ cara kerjanya berfikir asosiatif. Jenis pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi antarhal, misalnya antara lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara ibu dan cinta, dll.
Pada intinya pemikiran inimencoba membuat asosiasi antara satu emosi dan yang lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar. Kelebihan cara berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya, merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas. Kelemahan dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua orang yang memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari pernyataan “saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya, tetapi saya tidak dapat memiliki emosi anda”.
Otak SQ cara kerjanya berfikir unitif. Yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar unsur yang terlibat. Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya, menciptakan pola dan aturan baru. Kemampuan inimerupakan ciri utama kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang makna dan nilai yang lebih tinggi.
Tanda dari SQ yang berkembang dengan baik:
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau “bagaimana jika” untuk mencari jawaban-jawaban mendasar
9. Mandiri SQ yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki “makna” dalam hidupnya. Dengan “makna” hidup ini seseorang akan memiliki kualitas “menjadi”, yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia. Ungkapan syair yang dikemukakan oleh Gothe ini mampu mewakili karakteristik seseorang yang memiliki SQ (Fromm, 1987): Harta Milik Kutahu tak ada yang milikku Namun pikiran yang lepas bebas Dari jiwaku akan membanjir Dan setiap saat nan menyenangkan Yang oleh takdir yang cinta kasih Dari kedalaman diberikan buat kenikmatanku
Referensi:
Zohar, D. & Marshall, I. 2000. SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence. Alih Bahasa: Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan Media Utama.
Koeswara, E. 1992. Logoterapi: Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius Fromm, E. 1987. Memiliki dan Menjadi: dua modus eksistensi. Alih Bahasa: F.Soesilo- Hardo. Jakarta: LP3ES

By Ratna Eliyawati Sumber : untag.sby.ac.id

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar