Soal cadangan Ujian Nasional (UN) kerap ditengarai sebagai salah satu sebab kebocoran soal yang kerap terjadi menjelang pelaksanaan UN. Akibatnya, soal cadangan tersebut ditiadakan untuk menghindari kebocoran.
Namun, Mendikbud Muhammad Nuh menyanggah hal tersebut. Menurut beliau, soal cadangan bukan dihilangkan melainkan dikurangi jumlahnya."Selalu ada exit (jalan keluar), jangan diartikan tidak ada soal cadangan," jelas Nuh ketika ditemui di Hotel Sahid, kemarin (21/3).
Mantan Rektor ITS itu menuturkan, jumlah naskah cadangan soal UN tidak akan sebanyak soal aslinya. Jumlah naskah cadangan itu harus dihitung secara cermat dan matang sesuai dengan jumlah siswa yang mengikuti UN. Sebab, kata dia, naskah soal cadangan tersebut rentan disalahgunakan.
"Berapa muridnya di sekolah, kita siapkan. Kan peserta UN tidak datang secara tiba-tiba. Kita hitung secara matang sehingga lebih presisi. Karena semakin banyak naskah cadangan bisa disalah gunakan. Makanya kalau terjadi persoalan baru digunakan," jelas Nuh.
Sementara itu menyoal putusan perkara gugatan UN di Mahkamah Agung (MA) yang masih dipersoalkan, Mantan Menkominfo itu menegaskan gugatan tersebut diajukan sekitar tahun 2004-2005. Diakui Nuh, kala itu, sarana dan prasarana pendidikan masih terbatas karena anggaran. Di samping itu nilai sekolah dahulu tidak menjadi indikator penilaian dalam UN. Namun, seiring perjalanan waktu, kondisinya sudah berbeda.
Nuh mengatakan, saat ini ada perbaikan sarana dan prasarana secara drastis. Dan nilai sekolah sudah diikutkan dalam penilaian UN. Jadi tidak relevan kalau kita kaitkan dengan kondisi 6-7 tahun lalu.Tapi tetap kita hargai kalau tetap dikaitkan dengan. UN kan sekarang juga menjadi paspor masuk ke Perguruan Tinggi.
Seperti diketahui, sebelumnya, MA menyatakan menolak kasasi pemerintah dalam perkara gugatan pelaksanaan UN, dengan perintah untuk meniadakan ujian nasional bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.
Terkait hal itu, Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan (LP) Ma"Arif NU tegas menolak pelaksanaan ujian nasional (UN). Selama ini, lembaga pendidikan di bawah NU itu menganggap, hasil akhir UN masih jauh dari harapan. "UN itu tidak diperlukan, dan itu ada alasannya," KATA Wakil Ketua PP LP Maarif NU Masduki Baidlowi, dalam seminar Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Inovasi Teknologi Pendidikan , di Gedung PB NU, Jl. Kramat Raya, Jakarta, kemarin (21/3).
Dia lantas membeber hasil survei UNESCO pada 2011. Di situ disebutkan, bahwa hanya 6 persen output pendidikan nasional yang mampu bersaing secara global. Selanjutnya, tak lebih dari 24 persen peserta didik yang tercatat memiliki output sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Di survey yang sama, papar Masduki, juga terungkap bahwa 70 persen peserta didik memiliki output di bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM). " Jadi, UN selama ini terbukti tak dapat menyentuh target," tandasnya.
UN, menurut dia, juga hanya mendorong sekolah hanya menitik fokuskan pendalaman materi pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN. "Sehingga sekolah tak ubahnya lembaga kursus," tambahnya.
Di luar itu semua, imbuh dia, pelaksanaan UN juga terbukti menghabiskan anggaran pendidikan. Setiap tahun, sekitar Rp 600 miliar harus dianggarkan untuk satu kali pelaksanaan UN. "Jadi UN itu menghabiskan dana tapi tidak meningkatkan mutu," pungkasnya.
Namun, Mendikbud Muhammad Nuh menyanggah hal tersebut. Menurut beliau, soal cadangan bukan dihilangkan melainkan dikurangi jumlahnya."Selalu ada exit (jalan keluar), jangan diartikan tidak ada soal cadangan," jelas Nuh ketika ditemui di Hotel Sahid, kemarin (21/3).
Mantan Rektor ITS itu menuturkan, jumlah naskah cadangan soal UN tidak akan sebanyak soal aslinya. Jumlah naskah cadangan itu harus dihitung secara cermat dan matang sesuai dengan jumlah siswa yang mengikuti UN. Sebab, kata dia, naskah soal cadangan tersebut rentan disalahgunakan.
"Berapa muridnya di sekolah, kita siapkan. Kan peserta UN tidak datang secara tiba-tiba. Kita hitung secara matang sehingga lebih presisi. Karena semakin banyak naskah cadangan bisa disalah gunakan. Makanya kalau terjadi persoalan baru digunakan," jelas Nuh.
Sementara itu menyoal putusan perkara gugatan UN di Mahkamah Agung (MA) yang masih dipersoalkan, Mantan Menkominfo itu menegaskan gugatan tersebut diajukan sekitar tahun 2004-2005. Diakui Nuh, kala itu, sarana dan prasarana pendidikan masih terbatas karena anggaran. Di samping itu nilai sekolah dahulu tidak menjadi indikator penilaian dalam UN. Namun, seiring perjalanan waktu, kondisinya sudah berbeda.
Nuh mengatakan, saat ini ada perbaikan sarana dan prasarana secara drastis. Dan nilai sekolah sudah diikutkan dalam penilaian UN. Jadi tidak relevan kalau kita kaitkan dengan kondisi 6-7 tahun lalu.Tapi tetap kita hargai kalau tetap dikaitkan dengan. UN kan sekarang juga menjadi paspor masuk ke Perguruan Tinggi.
Seperti diketahui, sebelumnya, MA menyatakan menolak kasasi pemerintah dalam perkara gugatan pelaksanaan UN, dengan perintah untuk meniadakan ujian nasional bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.
Terkait hal itu, Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan (LP) Ma"Arif NU tegas menolak pelaksanaan ujian nasional (UN). Selama ini, lembaga pendidikan di bawah NU itu menganggap, hasil akhir UN masih jauh dari harapan. "UN itu tidak diperlukan, dan itu ada alasannya," KATA Wakil Ketua PP LP Maarif NU Masduki Baidlowi, dalam seminar Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Inovasi Teknologi Pendidikan , di Gedung PB NU, Jl. Kramat Raya, Jakarta, kemarin (21/3).
Dia lantas membeber hasil survei UNESCO pada 2011. Di situ disebutkan, bahwa hanya 6 persen output pendidikan nasional yang mampu bersaing secara global. Selanjutnya, tak lebih dari 24 persen peserta didik yang tercatat memiliki output sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Di survey yang sama, papar Masduki, juga terungkap bahwa 70 persen peserta didik memiliki output di bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM). " Jadi, UN selama ini terbukti tak dapat menyentuh target," tandasnya.
UN, menurut dia, juga hanya mendorong sekolah hanya menitik fokuskan pendalaman materi pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN. "Sehingga sekolah tak ubahnya lembaga kursus," tambahnya.
Di luar itu semua, imbuh dia, pelaksanaan UN juga terbukti menghabiskan anggaran pendidikan. Setiap tahun, sekitar Rp 600 miliar harus dianggarkan untuk satu kali pelaksanaan UN. "Jadi UN itu menghabiskan dana tapi tidak meningkatkan mutu," pungkasnya.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar