Kerinduan yang Terpendam | Brak bruk brak… semua persiapan untuk bertemu dengan sang pujaan hati tengah dipersiapakan layaknya persiapan perang. Mulai dari baju, sepatu, tas, asesoris yang mau dipakai, hingga perawatan rambut, kuku, dan luluran. Tik tok tik tok… jam dinding terasa berputar lebih cepat hingga membuat darah mengalir lebih kencang. Dag dig dug… detak jantung bagaikan genderang perang. Namun saat kudengar suara tawa dia dibalik telepon, terasa begitu damai dihati, detak jantung ini mulai berirama, walau rasa kangen semakin menjadi-jadi buatku ingin cepat bertemu. Ingin kutatap matanya, kugenggam erat tangannya, dan ingin kudipeluknya. Seketika sukmaku melambung. Angan mulai terlukis didinding benakku. Tak lupa akupun berdoa biar hari itu menjadi hari bahagiaku, hari bahagia yang telah lama hilang.
Sampailah aku dikampus, hampir jam 4 sore, padahal janji kumpul jam 2. Hufffff ingin rasanya berteriak dan kupentokkan kepalaku ketembok hingga waktu bisa kuulang, karena itu artinya jamku untuk bersamanya sudah berkurang hampir 2 jam. Aku menyesal.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengabulkan doaku. Aku bahagia banget bisa melihat dia lagi, menatap matanya, mencubitnya, mendengar suaranya, dan tentunya kena ejekan-ejekan dia yang kadang bikin aku tersipu malu. Canda tawa kami berlima di sebuah pelataran sevel dikawasan Jakarta Pusat mengantarkan pada malam yang makin larut, time to go home… sedih rasanya harus berpisah lagi karena aku ga tau kapan lagi bisa bertemu dengannya. Rasa rindu mulai menyelimuti dadaku biarpun dia masih duduk disampingku, alunan lagu Iwan Fals yang aku pilih dimobilnya mengingatkanku akan masa-masa bersamanya. Diapun menyanyikan sebuah lagu yang pernah dia nyanyikan untukku dulu, perasaan ini makin tak karuan. Yang ada dalam pikiranku, aku ingin berteriak “berhenti” dan aku tarik tangannya keluar dari mobil dan memeluk erat sang pujaan hati. Namun semua tak kulakukan, karena aku merasa dia bukan milikku. Dia tak mencintaiku.
Sesampainya dirumah, air mata yang tak terbendung ini pun mengalir, kerinduanku yang terpendam sekian lama tak mampu terobati dalam sehari, sakit rasanya hatiku, campur aduk perasaanku, goncang jiwaku, luluh lantak emosiku, layaknya gado-gado yang dijual dipinggiran jalan yang ga tau apa rasanya.
Tak berapa lama ayam jantan berkokok, sang mentari mulai menampakan sinarnya melalui celah-celah jendela kamarku. Berat rasanya membuka mata karena aku tau dia tak lagi disampingku, walau aroma tubuhnya masih memenuhi nafasku. Dan aku hanya mampu berdoa, Tuhan pertemukan aku lagi dengannya, aku merindukannya, aku menyayanginya, aku mencintainya.
Penulis : April : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/06/18/kerinduan-yang-terpendam/
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar