Sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh bisa menjadi jawaban untuk membuka hambatan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk memeratakan akses pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Sistem itu unggul dalam memperluas akses pendidikan dan memberi pilihan pembelajaran sesuai keinginan dan kebutuhan peserta didik. ”Universitas Terbuka (UT) bukan alternatif terakhir, tetapi jadi pilihan masyarakat sesuai kondisi dan kebutuhan peserta. UT terjangkau dan bisa menjangkau peserta di mana pun dan dalam kondisi apa pun,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, seusai membuka Konferensi Dunia Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ) ke-24 International Council for Open and Distance Education (ICDE) di Nusa Dua, Bali, Minggu (2/10). Kegiatan berakhir 5 Oktober 2011.
Oleh karena kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, pemerintah akan menambah pilihan alternatif pembelajaran jarak jauh sebanyak mungkin. Untuk mengoptimalkannya, diperlukan metode pembelajaran online kolaboratif.
Peserta didik tidak hanya mengakses materi ajar di portal tertentu, tetapi juga saling berbagi informasi dan pengalaman sehingga terjadi interaksi antarpeserta didik. Apabila itu terjadi, Nuh berharap pendidikan jarak jauh tumbuh cepat dan pengetahuan mengalir ke semua lapisan masyarakat.
Soal infrastruktur
Saat ini, UT belum menjangkau daerah-daerah terpencil karena keterbatasan infrastruktur informasi dan teknologi. Rektor UT Tian Belawati mengakui, mahasiswa yang memanfaatkan pembelajaran online umumnya tinggal di kota. Dari sekitar 600.000 mahasiswa UT, hanya 30.000 hingga 40.000 mahasiswa yang menggunakan pembelajaran online. ”Mahasiswanya memang terkonsentrasi di kota besar,” ujarnya.
Alokasi anggaran untuk UT relatif minim. Sebagian besar dana untuk membiayai konektivitas pembelajaran online yang berbasis informasi dan teknologi. Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan Rp 1,5 triliun untuk operasional UT.
Meskipun anggaran pemerintah terbatas, bagi Tian, yang penting pemerintah menyadari potensi pendidikan terbuka dan jarak jauh yang bisa membuka akses pendidikan lebih luas.
Sistem itu unggul dalam memperluas akses pendidikan dan memberi pilihan pembelajaran sesuai keinginan dan kebutuhan peserta didik. ”Universitas Terbuka (UT) bukan alternatif terakhir, tetapi jadi pilihan masyarakat sesuai kondisi dan kebutuhan peserta. UT terjangkau dan bisa menjangkau peserta di mana pun dan dalam kondisi apa pun,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, seusai membuka Konferensi Dunia Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ) ke-24 International Council for Open and Distance Education (ICDE) di Nusa Dua, Bali, Minggu (2/10). Kegiatan berakhir 5 Oktober 2011.
Oleh karena kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, pemerintah akan menambah pilihan alternatif pembelajaran jarak jauh sebanyak mungkin. Untuk mengoptimalkannya, diperlukan metode pembelajaran online kolaboratif.
Peserta didik tidak hanya mengakses materi ajar di portal tertentu, tetapi juga saling berbagi informasi dan pengalaman sehingga terjadi interaksi antarpeserta didik. Apabila itu terjadi, Nuh berharap pendidikan jarak jauh tumbuh cepat dan pengetahuan mengalir ke semua lapisan masyarakat.
Soal infrastruktur
Saat ini, UT belum menjangkau daerah-daerah terpencil karena keterbatasan infrastruktur informasi dan teknologi. Rektor UT Tian Belawati mengakui, mahasiswa yang memanfaatkan pembelajaran online umumnya tinggal di kota. Dari sekitar 600.000 mahasiswa UT, hanya 30.000 hingga 40.000 mahasiswa yang menggunakan pembelajaran online. ”Mahasiswanya memang terkonsentrasi di kota besar,” ujarnya.
Alokasi anggaran untuk UT relatif minim. Sebagian besar dana untuk membiayai konektivitas pembelajaran online yang berbasis informasi dan teknologi. Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan Rp 1,5 triliun untuk operasional UT.
Meskipun anggaran pemerintah terbatas, bagi Tian, yang penting pemerintah menyadari potensi pendidikan terbuka dan jarak jauh yang bisa membuka akses pendidikan lebih luas.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar